Beranda

Rabu, 21 Desember 2011

SUATU KETIKA DALAM HIDUPKU

Jarum jam menunjuk ke angka 04.30 ketika suara alarm HPku dan Irad terdengar berbarengan. Malam ini Irad bermalam di Itqon, berhubung temanku Sri, sedang pulang ke Langsa. Meski rasa pegal merayapi seluruh sendi tubuhku karena aktifitas seharian ini yang cukup melelahkan dan tiba di Itqon ba’da maghrib, aku memaksakan diri untuk bangkit. 

 
Aku merasakan fajar ini berbeda dari biasanya. Meski kelelahan, kami tidak ingin menyiakan waktu singkat yang sangat berarti ini. Melaksanakan shalat malam hingga menjelang subuh. Menyambung kembali sejenak berbaring di peraduan dan terbangun pukul tujuh pagi.
Aku segera bangkit dan membereskan kamar. Rencananya hari ini Itqon tutup karena ada agenda di luar yang harus aku lakukan. Sementara Irad hendak pulang ke kosannya yang berjarak beberapa meter di belakang Itqon. Sebelum pulang, Irad singgah ke warung kopi di samping Itqon. Membeli nasi gurih untuk sarapan kami berdua.
Aku naik ke lantai 2 untuk menjemur beberapa helai kain yang sempat aku cuci semalam. Ketika sedang menjemur, aku merasa seperti gempa. Namun aku abaikan dan melanjutkan menjemur. Gempa terasa semakin kuat. Aku melongokkan kepala ke arah luar. Rupanya hampir bersamaan Irad juga melihat ke atas, rupanya dari tadi dia mencariku.
“Kak, turun! Gempa!” Teriaknnya panik.
Irad tidak sendiri karena terlihat semua tetanggaku berkumpul, duduk di atas aspal dan trotoar pinggir jalan. Gempa semakin kuat, aku merasa ketakutan kalau-kalau bangunan ruko yang aku tempati ini akan roboh. Aku pun segera berlari ke arah tangga. Di tangga, aku hampir jatuh tersungkur. Terombang-ambing membentur dinding tangga dan nyaris terpental ke bawah. Sampai di bawah aku segera meraih jilbab dan lari keluar sempoyongan. Ikut bergabung dengan orang ramai yang sedang duduk terpekur dengan wajah pias sambil komat-kamit berdoa. Aku berpelukan dengan Irad saking takutnya.
Semua bangunan di dekat kami bergoyang, seakan mau runtuh. Gempa belum juga berhenti, aku merasa pening dan mual. Beberapa menit kemudian gempa reda. Kami semua masih merasakan pening.
Aku masuk ke Itqon diikuti Irad. Semua buku di rak terjatuh berserakan. Dengan dibantu irad aku menyusun kembali buku-buku seperti semula. Setelah selesai kami duduk di kursi hendak sarapan, sambil memeriksa Hp kami masing-masing yang tidak ada jaringan. Tak lama kemudian Irad pulang dan ingin sarapan di kosan bersama teman kosan lainnya.
Selesai sarapan aku aku meraih handuk dan masuk ke kamar mandi. Rupanya sikat gigiku tertinggal di kamar. Aku sedang di kamar ketika tiba-tiba gempa kembali mengguncang. Kali ini terasa lebih kuat. Aku batal mandi karena merasa takut bangunan ini runtuk. Refleks aku meraih jaket karena aku pakai daster lengan pendek, memakai rok, dan jilbab, tidak lupa kaos kaki. Aku berlari keluar. Sampai di luar penjaga toko sebelah yang kami panggi Dedek, sedang menutup pintu ruko.
“Kenapa, Dek, kok ribut sekali?” tanyaku sambil melihat orang-orang berlari kepanikan.
“Air laut naik, kak!” jawabnya.
Aku melihat ke arah belakang, disana ada tanggul besar yang kami sebut krueng aceh. Tampak olehku air berwarna kehitaman muncrat ke atas hingga beberapa meter, tak terukur karena agak jauh. Aku berlari masuk kembali ke kamar dan mengambil HP serta dompet lalu aku masukkan ke dalam saku jaket yang aku pakai. Aku tarik pintu besi ruko hingga tertutup. Selanjutnya aku berlari ke arah depan jalan. Di depan lorong menuju rumah Irad orang-orang berdesakan berlari ke arah jalan besar yang aku lalui. Tapi tidak kelihatan Irad dan teman kosannya. Aku terus berlari tanpa tahu lari ke mana. Beberapa meter di depan aku melihat si Dedek berteriak dari atas sebuah mobil tanki. Rupanya dia sudah duluan lari tadi.
“Kak, Naik!” teriaknya panik sambil menjulurkan tangannya memintaku naik ke mobil tanki tersebut. Aku semakin mengencangkan lari berusaha mengejar mobil itu yang berjalan pelan. Ketika sudah dekat, Dedek langsung menarik tangan yang aku julurkan. Aku hampir terjatuh karena sebelah sandal yang aku pakai tersangkut.
“Biarin sandalnya, kak!’ teriak Dedek gusar.
Aku pun membiarkan sebelah sandal itu tertinggal. Sementara saat aku naik mobil, air di jalan sudah semata kaki.
Di belakangku, seorang ibu yang menggendong bayinya minta naik juga. Aku menarik tangan si ibu, membantunya naik. Alhamdulillah si ibu dan bayinya berhasil. Mobil terus bergerak perlahan. Menuju ke arah kota. Sempat melihat ke arah kanan, ke perumahan Jeulinke. Tampak olehku warganya berlarian dalam air yang sudah selutut dan mengalir deras. Jeritan terdengar menyayat tapi aku tak mengenal siapapun orang yang kulihat. Padahal temanku banyak yang yang di tinggal di situ. Entahlah aku tidak ingat mereka. Tidak ingat apapun. Ketika kami sedang mengatur posisi agar muat lebih banyak orang di atas mobil tanki ini, supirnya justru berteriak dengan panik dari arah depan.
“Turun! Semua lompat, air sudah naik!”
Rupanya mobil itu tidak bisa melaju lagi karena air semakin tinggi dan deras. Tanpa pikir panjang aku segera melompat. Entah bagaimana dengan yang lain. Sungguh. Aku seperti tidak melihat dan memikirkan sekelilingku. Tidak melihat atau berfikir apapun selain berlari dan berlari. Seakan semua terjadi di alam bawah sadar dan setiap orang dalam keadaan panic.
Dari arah depanku, dekat markas Brimob, arus orang-orang yang berlari juga disertai terikan-teriakan panik, semakin berdesak. Semua bingung hendak kemana karena air datang dari berbagai arah. Menghempas apapun yang ada.
Menyadari tidak mungkin lari lagi dalam arus yang semakin deras, aku segera menepi. Berusaha menggapai pintu jeruji besi sebuah ruko. Aku berpegangan erat karena arus bertambah deras dan dengan cepat menenggelamkan kami yang bergantungan di pintu ruko tersebut. Aku berusaha naik lebih tinggi ketika air semakin naik. Naik dan naik hingga mencapai jeruji ventilasi ruko. Tiba-tiba arus yang lebih keras menghempas pintu ruko hingga lepas dan terbawa hanyut ke dalam. Aku masih bergelantung di ventilasi, sementara air sudah setinggi dadaku.
Setelah beberapa lama, air sudah agak tenang. Aku melihat sekeliling. Semua kelihatan hitam. Balok-balok kayu, atap seng yang terlepas, sampah, serta bangkai hewan yang terapung, hanyut di hadapanku. Aku baru sadar, di sampingku ada dua orang perempuan muda yang ikut bergelantung. Wajah mereka kelihatan pucat dan kehitaman. Aku berusaha menenangkan mereka yang menjerit-jerit minta tolong.
Hingga beberapa detik air masih tenang. Aku terfikir untuk bergelantung dari bagian dalam ruko. Karena balok dan seng, serta benda-benda lain yang hanyut ke arahku membuat kaki dan badanku sakit terkena benturannya. Setelah berada di bagian dalam toko (dengan tetap bergelantung di jeruji) aku meminta kedua perempuan tadi juga ikut masuk. Dalam hitungan detik, balok dan benda-benda hanyut lain datang semakin banyak hingga menutupi pintu ruko yang tadinya tak berpintu lagi. Kami terkurung. Aku semakin panik. Hanya kepala kami bertiga nampak di permukaan air.
Bagaimana kalau air datang dengan jumlah semakin banyak dan deras? Saat itu saja, ketinggian air tinggal sejengkal lagi hampir menyentuh loteng. Sudah pasti aku akan tenggelam dan terkurung dalam ruko, pikirku. Di dalam ruko, keheningan mencekam, saat itu suara-suara teriakan sudah tidak terdengar senyaring sebelumnya. Aku merasa seperti sedang berada di tengah-tengah belantara tanpa seorang manusia pun. Suasana ini membuatku takut. Terbayang kamp isolasi berisi gas mematikan yang dibuat nazi untuk mengeksekusi orang Yahudi dulu. Seperti menanti maut yang sudah pasti datang. Entah karena keheningan sesaat ini telah mengacaukan kerja saraf otakku. Hingga memikirkan hal-hal yang terlalu jauh. Karena perasaan itu pula aku berinisiatif untuk keluar. Tapi tidak ada celah sedikitpun yang bisa aku lalui untuk keluar.
Kemudian aku menyelam hingga ke dasar berharap menemukan celah yang bisa kulalui. Tidak mudah membuka mata dalam air yang berlumpur, hitam pekat, dan berminyak. Syukur aku menemukan sedikit celah. Aku naik kembali ke permukaan untuk mengisi rongga dada sepenuh mungkin dengan oksigen. Lalu kembali menyelam. Mendorong tubuhku melalui celah sempit untuk bisa keluar. Malangnya sesuatu yang amat keras menarik tubuhku dari bawah. Aku meronta berusaha melepaskan diri agar tidak karam. Tapi justru cengkeraman itu semakin kuat mencekik leherku hingga aku nyaris tak bisa bernafas. Aku terus meronta berusaha melepaskan jaket yang aku kenakan. Ya Allah, jaket ini semakin menjeratku. Okigen yang aku hirup tadi hampir habis. Meskipun masih terjerat, aku berusaha mmenjulurkan kepalaku ke atas permukaan air. Hanya sebatas hidung itupun sambil mendongak. Seorang laki-laki yang berada di dekatku melihat ke arahku namun dia seperti tidak paham. Agaknya dia sedang berusaha menolong seseorang. Aku berteriak memintanya melepaskan jaketku. Dia membantu menariknya beberapa kali namun tetap belum bisa.
Aku nyaris pasrah dan menyerah ketika dia berkata lirih, “Gak bisa, jaketnya keras sekali!”
Beberapa teguk air masuk melalui mulutku. Uhh! Rasanya asin dan pahit, juga berminyak. Aku kembali meronta sambil berdoa. Akhirnya jaket yang kupakai terlepas dan aku bisa mengapung. Dua perempuan tadi memelas dan meminta aku tidak meninggalkan mereka. Aku membantu mereka keluar dari ruko. Aku pegang kepala mereka sambil mengarahkan untuk keluar karena aku tidak mau mereka mengalami hal serupa yang aku alami. Setelah keduanya keluar, tidak kupedulikan apapun lagi. Meski mendengar keduanya memintaku jangan pergi, tapi aku merasa sangat lelah. Aku berusaha berenang menjauh. Bangkai-bangkai hewan di sekelilingku membuatku jijik dan sedikit takut. Tapi aku bisa melewatinya. Tidak berapa jauh dari tempat kami, seorang laki-laki sedang membantu orang-orang untuk naik ke lantai 2 sebuah ruko. Aku menuju ke sana setelah memastikan kedua perempuan muda yang tadi bersamaku sudah tertolong.
Dua orang laki-laki yang agaknya mahasiswa, menjulurkan tangan mereka berusaha menarik tanganku ke atas. Aku naik ke atas kasur yang hanyut dan tersangkut pada tumpukan balok- balok kayu. Selanjutnya melalui tiang listrik yang masih kokoh aku berusaha naik dengan dibantu mereka. Masuk ke dalam melalui jendela yang sudah dilepas pintunya. Kedua perempuan tadi juga berhasil dinaikkan ke atas. Di lantai dua duduk bersandar kelelahan beberapa orang yang basah kuyup dan berlumpur hingga wajah mereka kelihatan hitam. Masing-masing memegang sebuah botol minuman ringan yang di temukan di ruko tersebut. Mereka menyodorkan satu botol untukku. Dengan minuman itu aku berkumur-kumur untuk menghilangkan lumpur yang berminyak dan bau belerang. Aku berusaha memuntahkan air yang tadi sempat terminum olehku. Di sini aku bertemu Aulia Rohendi, temanku di FLP dan adiknya yang masih satu almamater denganku. Kami sudah lama tak bertemu. Tak disangka bertemu di tempat seperti ini. Hanya mereka berdua yang aku kenal karena kebanyakan yang aku jumpai di tempat ini mahasiswa kosan yang berasal dari berbagai daerah.
Sejenak aku tegak di jendela sambil memandang ke luar. Sejauh mata memandang, yang kelihatan hanya lautan hitam. Bahkan rumah berlantai satu seperti barak Brimob di depan ruko cuma kelihatan atapnya saja. Seperti lapangan luas, dengan beberapa pohon yang masih berdiri. Beberapa mobil tersangkut di atas atap rumah. Sebagian lain rumah bertingkat, diatasnya beberapa orang berhasil menyelamatkan diri. Tak begitu lama aku berdiri, sebuah mobil lewat di hadapan. Di atasnya beberapa laki-laki, perempuan dan anak-anak, perlahan terbawa arus. Kami hanya bisa memandangi mereka berlalu dari hadapan. Tanpa bisa berbuat apa-apa.
Ternyata waktu hanya memberi kesempatan beberapa menit untuk kami menenangkan diri. Karena setelah itu gempa kembali membuat goncangan dahsyat. Orang-orang kembali panik termasuk aku. Jeritan ketakutan kembali terdengar. Kami berhamburan bangkit di lantai sempit ruko tersebut. Dari depan lari ke belakang, lalu kembali ke depan, berulang-ulang seperti itu hingga beberapa kali. Ruko itu hanya terdiri dari dua lantai, jadi tempat yang lebih tinggi hanyalah atap. Tapi tidak ada akses ke sana. Seseorang memecahkan kaca jendela di dinding belakang ruko. Sebuah tangga kayu yang sudah lapuk dimakan usia berdiri tegak bersandar pada dinding. Tak ada jalan lain, selain menaiki tangga tersebut. Pelan-pelan satu persatu naik. Seseorang yang sudah terlebih dahulu sampai di atap berteriak sambil menuntun siapa saja yang sedang naik.
“Ayo, naik. Pelan-pelan. Jangan takut. Tangganya cukup kuat. Jangan lihat ke bawah!”
Kalimat itu yang aku ingat dikatakan orang tersebut. Tapi aku tetap takut dan tanpa sengaja melihat ke bawah. Pada saat itulah pertama kali aku melihat sesosok jasad perempuan terjepit diantara balok-balok kayu rumah yang roboh. Aku hampir jatuh karena terkejut diteriaki agar segera naik.
Di atas, cuaca sangat terik. atap seng yang sudah berkarat seperti menyerap semua panas matahari. Aku tidak mau diam saja menghadapi situasi seperti ini. Aku terus bergerak bersama beberapa orang untuk membantu orang-orang yang kondisinya sudah sangat lemas, membantu memegangi tangga ketika ada yang menyusul naik ke tempat kami. Aku justru merasa lebih kuat dan tegar ketika berada di atas sini. Bukan aku tidak takut seperti yang lain. Apalagi gempa belum juga berhenti. Kami seperti sedang berada di atas pucuk pohon tinggi lalu angin meniup dengan kencang. Aku berusaha menutupi ketakutanku dengan terus menerus berzikir dan berdoa, dengan mengajak serta mereka yang kelihatannya sangat shock dan putus asa.
Kemudian Seseorang membagikan selembar kain untuk kami melindungi diri dari cahaya matahari langsung. Beberapa orang duduk merapat, karena kainnya tidak begitu lebar. Aku menatap wajah-wajah di hadapanku. Ada sekitar tujuh orang perempuan berada di dekatku. Sebagian dari mereka wajahnya masih berlumpur, pasti mereka berhasil keluar dari air sepertiku. Tatapan mereka putus asa. Setiap kali mendengar teriakan “air naik lagi!” atau “air tambah naik!” wajah-wajah itu bertambah pucat. Aku tidak tahu bagaimana wajahku saat itu. Pasti tidak jauh berbeda dengan mereka. Aku berusah menjaga semangat dan harapan.
Ternyata berada di atas sini tak membuat kondisi kami menjadi lebih baik. Masih terasa seperti berada di suatu tempat menanti datangnya kematian. Membayangkan sewaktu-waktu ruko ini akan ambruk dan semua kami terjatuh lalu terseret arus. Demi melihat wajah-wajah frustasi dihadapanku, aku berfikir harus lebih kuat dan sabar. Meskipun diantara kami belum pernah saling kenal sebelumnya, tapi kami merasa senasib di atas atap ini. Sehingga aku tidak sungkan merangkul dan memeluk orang-orang yang berada di dekatku ini. Berusaha menenangkan mereka dan mengajak untuk tak henti berdoa dan berzikir. Dalam kondisi frustasi sama halnya seperti mereka aku masih sempat mendesah lirih di telinga mereka bahwa Allah menyayangi umatNya. Ini adalah ujian-Nya karena kita telah berbuat begitu banyak dosa. Meskipun aku tidak bisa menahan tangis bahkan sampai tubuhku ikut berguncang. Toh, pada akhirnya aku tersadar, sekuat apapun berusaha menghilangkan rasa takut ternyata tak mudah. Sepertinya aku tidak lebih tegar dari orang-orang yang berada di dekatku tapi lebih kepada sikap pasrah. Apapun yang terjadi, terjadilah. Karena sangat terasa betapa tak berdayanya kami disaat itu. Berkali-kali aku bergumam lirih. “Ya Allah, janganlah engkau murka karena dosa-dosa kami. Ampuni kami dengan Rahmat-Mu. Dengan Rahmat-Mu, ya Allah! Dengan Rahmat-Mu…”
Dari atap-atap bangunan lain yang tampak olehku, seruan kepada Rabb dengan kalimat tayyibah, pekikan Allahu Akbar, serta shalawat kepada Rasulullah mulai terdengar. Kemudian dari arah yang lain, sayup-sayup alunan azan –tanpa microphone- memberi secercah harapan. Seorang perempuan muda yang kelihatannya tidak sempat kena air, menghampiri kami. Dia membawa sebuah mushaf kecil Al-Quran. Lalu kami membaca Surah Yasiin dengan deraian air mata dan kepasrahan yang sangat. Memohon Allah menghentikan tekanan dan  nelangsa ini.
Menjelang Dhuhur, air mulai surut, namun gempa belum juga berhenti. Suhu semakin menyengat. Beberapa orang memberanikan diri turun dari atap ruko. Aku juga mulai tidak sabar ingin turun apalagi ketika melihat beberapa orang mendirikan shalat di atas atap ini. Melalui sebuah tangga kayu yang lain, aku bersama Aulia dan adiknya turun. Di lantai bawah kami harus melewati perabotan seperti meja dan kursi yang berserakan dalam genangan air. Meskipun agak sulit karena licin, akhirnya kami sampai juga di luar ruko.
Sudah banyak orang yang lalu lalang. Aku melihat seorang Bapak membopong jasad seorang perempuan kecil. Sepertinya dia baru saja menemukan anaknya. Ia berjalan tanpa ekspresi. Agaknya ia sudah lupa bagaimana cara meneteskan air mata. Atau saat itu airmatanya sudah kering. Satu persatu, hal serupa berlalu dihadapanku. Ada yang menemukan anggota keluarganya terapung diantara tumpukan kayu. Sementara yang lainnya, duduk terisak di sisi sesosok mayat yang dibaringkan di atas sebuah kasur yang hanyut. Aku hanya melihat sekilas sambil berlalu dengan menahan air bah di mataku yang setiap saat bisa tumpah. Firasatku mengatakan, apa yang kusaksikan ini hanyalah sepotong episode awal.
Aku teringat dengan jaketku. Apa gerangan yang terjadi sampai ia menarikku sangat kuat sehingga aku nyaris karam dan tak bisa bernafas. Aku pun segara mencarinya. Mengingat-ngingat, di ruko mana peristiwa tadi pagi terjadi. Ketemu juga rukonya. Aku mendekat dan meraba-raba karena air masih sepinggangku. Auw! Aku menemukan sebuah bangkai ikan sebesar paha orang dewasa. Aku langsung melempar karena geli. Dengan agak ragu aku terus meraba sampai aku temukan jaketku. Ohh, ternyata, tali di bagian topinya tersangkut pada sebuah paku. Aku menarik dan membawanya meskipun berlumpur. HP dan dompet yang semula aku masukkan dalam kantongnya entah hanyut kemana. Yang ada hanya sebuah gunting kuku kecil, lupa kapan aku menaruh di sebuah kantongnya.
Aku berjalan menuju Itqon, tempat aku tinggal. Yang kira-kira berjarak 500m. Sepanjang jalan, orang-orang mulai mengumpulkan satu persatu mayat yang ditemukan di atas kasur  atau tumpukan kayu, baik mereka kenal maupun tidak. Aku berjalan terus tanpa henti. Sampai di depan Itqon, sebatang besar pohon dengan ranting dan daunnya teronggok hampir menutupi pintunya. Bu Mery, tetanggaku, bersama beberapa orang tetangga yang selamat sedang duduk di depan trotoar jalan. Aku melihatnya sekilas, begitu juga dengannya. Kami sama-sama tersenyum kecut. Ketika diketahuinya aku mendekati Itqon, ia berseru dengan nada agak marah.
“Hai, ngapain ke sana? Pergi ke rumah Pak Ali saja. Di sana rame orang”. Pak Ali yang dia maksud adalah pamannya, dan rumahnya berada di depan kosan Irad. Tanpa bertanya aku menuruti sarannya. Belakangan aku baru tahu kenapa dia melarangku mendekati Itqon saat itu. Rupanya mereka baru saja memindahkan sepasang mayat. Menurut mereka sepasang pengantin baru karena masih ada inai di jari yang perempuan. Tersangkut di bawah pohon tersebut.
Sesampai di rumah Pak Ali, aku merasa lega berjumpa dengan Irad dan teman-teman kosannya yang lain. Kami saling berpelukan dan menceritakan kejadian yang baru kami alami. Namun ada yang terlihat resah, Devi. Suami dan anaknya Aisyah yang berusia 3 tahun serta Ina, baby siternya, belum ketahuan keberadaan mereka. Devi yang saat kejadian sedang co-as di Rumah sakit Zainul Abidin berjalan kaki ke kosannya untuk mengetahui nasib suami dan anaknya.
Ba’da Asar, berdua Irad, kami mencari mereka di Masjid Tunggai. Ada kabar di sana banyak warga yang mengungsi. Karena melalui jalan yang agak jauh dan susah dilalui, kami mengambil jalan pintas melewati kebun penduduk namun lumpur dan tanaman berduri membuat gerak kami sangat lambat. Di sepanjang jalan yang kami lalui, makanan instant, snack serta minuman kaleng bertumpuk dalam kardus-kardus yang sudah basah. Kami memungut beberapa air mineral dan meneruskan jalan ke arah Masjid. Sesosok mayat yang melintang di jalan kami lewati dengan perasaan agak takut. Tak berapa jauh di depan, seonggok bangkai sapi yang sudah membusung, mengapung dalam air. Saat itu, air di kawasan ini air masih setinggi pinggang kami. Sesampai di halaman Masjid, tanpa sengaja aku melihat sesosok mayat perempuan tanpa pakaian yang hanyut tertelungkup di antara tumpukan kayu.
Kami naik ke lantai dua masjid. Di tangga, duduk seorang perempuan muda dengan tatapan kosong. Aku menawarkan minuman yang kami bawa kepadanya. Namun dia justru menarik-narik rok kami sambil menunjuk-nunjuk ke bawah dengan wajah ketakutan. Aku langsung melompatinya dan berlari naik tangga. Agaknya perempuan itu syok dengan peristiwa yang baru saja dialaminya.
Di lantai dua Masjid, orang-orang berdesakan. Laki-laki, perempuan, orang tua, ibu-ibu dengan bayinya. Bahkan untuk melangkah saja sulit. Kami mencari-cari, akhirnya bertemu dengan Ina dan Siti, temannya. Sedang suami dan anak Devi belum kelihatan. Menurut Ina, mereka terpisah dan berlainan arah waktu lari menyelamatkan diri.
Akhirnya kami pulang melalui jalan yang sama dengan saat kami datang. Dari tumpukan makanan yang kami lewati tadi, kami mengambil beberapa bungkus makanan dan minuman karena sudah mulai terasa lapar.
Hari sudah menjelang maghrib. Mendung menggelayut di langit, membuat suasana sangat gelap. Tanpa listrik dan penerang apapun. Malam itu, ada 13 orang yang menumpang di rumah Pak Ali, ditambah istri dan seorang keponakan mereka. Kami berkumpul dalam sebuah ruangan dengan ukuran sekitar tujuh 7x3 meter persegi di lantai dua. Kamar ini menghadap ke jalan dan di ujungnya terdapat teras dengan lebar sekitar 2x3 meter persegi. Sehingga kami leluasa memandang ke depan dan kalau terjadi sesuatu yang mengharuskan kami melompat, maka sebatang pohon di dekatnya mungkin bisa menjadi tangga darurat. Sedang bagian bawah –lantai satu- rumah ini masih tertutup lumpur setinggi lutut. Sepanjang malam kami tidak bisa benar-benar tidur. Setiap menit, gempa masih sekuat tadi siang. Dengan perut lapar karena tidak ada makanan apapun yang bisa kami makan. Alhamdulillah menjelang tengah malam, seorang anak Pak Ali yang tinggal di Tungkop (daerah ini tidak terkena air) datang membawa nasi dan sedikit lauk.
Maka hari-hari setelah itu…………tak ada kata yang tepat untuk aku kisahkan…

(Untuk seorang Irad yang baik & setia.Semoga Allah selalu merahmatimu)

*In memories: Diana Roswita, Mutia Maida, Cut Ivo Erawati, Faryati, Nevi Yuli Safitri, Rita Ulfia, Kesuma ‘nanda’ Izzati, Eva Nurjannah, hayatul fitri, T.Firdaus Nuzula, Yusrizal Fadli,… (Kalian telah pergi namun jejak kalian masih membekas di jalan ini)

11 komentar:

  1. Speachless..sampe tak bisa berkata-kata lagi saat membayangkan berada disana..semoga kita semua bisa mengambil hikmah dari peristiwa itu dan berdoa agar kejadian serupa tidak terulang lagi negeri ini. amin..

    BalasHapus
  2. #Terimakasih Seagate untuk komen & welcome to my blog:)
    Tsunami Aceh tahun 2004 memang peristiwa luar biasa (buat saya)
    Semoga kita juga bisa mengambil hikmah "yang luar biasa"
    dari peristiwa ini..

    BalasHapus
  3. Sedih juga ya.. apabila kejadian itu menimpa saudara kita..

    BalasHapus
  4. Balasan
    1. Trims Awalilah,
      maaf baru balas, hehe...
      salam kenal...

      Hapus
  5. Dibalik musibah pasti terdapat hikmah yang berlimpah, katakanlah hai kawan ALLOH selalu ada untuk kita, ALLOH Slalu kasih yang terbaik buat kita :) amin. Salam kenal --- OM Kris in Blogers

    BalasHapus
  6. Yahhh,,, banyak skali hikmah meski kadang kita tak menyadarinya. trimakasih sudah mampir. Salam kenal :D

    BalasHapus
  7. postingan yang bagus tentang SUATU KETIKA DALAM HIDUPKU

    BalasHapus
  8. Semoga kita bisa mengambil hikmah dari sepenggal perjalanan hidup Kakak.

    BalasHapus