Beranda

Rabu, 21 Desember 2011

BERSAMA NANDA


Aku belum melupakan saat itu. Suatu siang, bersama beberapa orang teman, kami sedang duduk sambil berdiskusi banyak hal di Itqon (sebuah toko buku dan juga Sekretariat Forum Lingkar Pena Aceh). Kami masuk memberi salam dan bertanya, “Di sini sekretariat FLP ya?” Pertanyaan yang serupa kamu lontarkan memang bukan pertama kali terdengar. Bahkan hampir tiap hari ada saja –kebanyakan mahasiswa dan pelajar- yang datang menanyakan info tentang FLP. Dan kamu adalah satu diantaranya.

 
Esoknya kamu datang lagi mengutarakan keinginan untuk bergabung dengan teman-teman FLP. Sejak itu kita mulai akrab, berbicara banyak hal tentang dunia kepenulisan.
“Nanda itu siapa?” Aku menyela pembicaraanmu.
“Oh ya, maaf. Aku lupa. Nanda itu nama kecilku. Di rumah aku sering dipanggil Nanda,” jelasmu. Aku sempat bingung karena sesekali kamu menyebut diri “aku” dan kadang-kadang “nanda”.
Itulah pembicaraan antara kita pada pertemuan kedua sejak kedatanganmu minggu lalu. Kala itu aku menebak –dari logatmu- kamu bukan penduduk asli di sini. Setidaknya belum lama tinggal di Aceh.
“Iya, Nanda memang baru sebulan tinggal di Aceh. Sebelumnya aku tinggal di Jakarta,” katamu membenarkan dugaanku. “Sejak tahun 1994, aku kuliah di IPB. Selesai kuliah, aku tinggal dan bekerja di Jakarta. Jadi sudah sepuluh tahun aku meninggalkan Aceh,” jelasmu panjang lebar.
Waktu terus bergulir. Hampir setahun pertemuan, tepatnya persahabatan kita. Banyak hal sudah kita bicarakan. Tentang kehidupanmu di Bogor dan Jakarta, kisah keluargamu yang terpisah, dan tentang pelayaranmu di dunia maya.
“Aku kalau sudah ke internet, bisa berjam-jam,” tuturmu suatu ketika saat aku menyinggung kebiasaanmu itu. “Bahkan bisa seharian, mungkin. Cuma masalahnya duit,” lanjutmu dengan sepotong senyum miris di wajah tirusmu.
Aku bisa memahami ucapan itu. Memang sejak pulang ke Aceh, kamu harus sabar jadi pengangguran. Untuk itu kamu bersedia melakukan apasaja demi mendapatkan sejumlah uang. Termasuk menjadi reporter sebuah harian lokal dengan gaji minim bahkan untuk ongkos liputan saja kadang-kadang harus nombok. Dan belakangan kamu sering dapat “job” dari ibumu yang menjabat sebagai kepala sekolah di sebuah sekolah dasar. Menerima ketikan.
“Lumayanlah untuk ongkos transpor dan rental internet,” komentarmu tentang penghasilan dari job itu.
Selang beberapa waktu setelah mengikuti pelatihan kepenulisan FLP, sebuah tulisanmu berhasil menembus Eramuslim (http://eramuslim.com). Waktu itu kamu sangat senang. Untuk pertamakali tulisanmu dimuat di sebuah media (on line). Tulisan itu bertutur tentang kisah nyatamu di dunia maya. Dan aku sempat kamu mintai mengedit tulisan itu.
Selang satu minggu kemudian, tulisanmu yang kedua kembali dimuat di media yang sama. Yang ini tentang pengalamanmu yang sering “ber’itikaf” di Masjid Raya Baiturrahman. Tentang sebuah ayat dari Surah ar Rahman yang sangat bermakna “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu ingkari?”
Setelah dua tulisan itu, aku melihatmu begitu bersemangat membuat tulisan-tulisan yang lain. Ditambah lagi dengan motivasi dari chattinganmu dengan salah seorang redaksi dari media tersebut. Kamu juga mulai betah duduk dan mengetik tulisanmu saat aku meminta tolong menggantikanku di Itqon ketika aku ada aktivitas di luar.
Seperti biasa, saban minggu pagi, setelah pekerjaan rumah selesai, kamu datang ke Itqon. Namun pagi itu kamu tidak datang (kelak aku tahu dari adikmu bahwa di rumahmu hari itu ada acara keluarga). Mungkin masih awal sehingga kamu belum sempat memberitahu ketidakdatanganmu pagi itu. Pun karena Tsunami telah lebih dulu menjemputmu. Sejak itu aku tidak pernah menunggu lagi dan tidak pernah mendengar kabar darimu. Aku tahu kamu memang tidak akan pernah datang, untuk selamanya. Aku juga tidak lagi akan mencari kabar di mana jasadmu. Karena tidak ada yang bisa memberi jawaban. Aku hanya bisa berkata, selamat jalan sahabat………

1 komentar: