Saat
harus mengembalikan awal yang merupakan prolog dari episode panjang ini, beban
seakan menggelayut dan menyelimuti benak. Entah bagaimana menghadirkan kembali
lembar demi lembar yang telah lusuh dan memudar bahkan sebagian lagi telah
tercerabut dari bundelnya.
Hari
itu, pada suatu sore, sejumlah 10 atau 15 orang muda berkumpul di sebuah ruang
tamu yang berukuran sekitar 5x6 m2. Ruangan yang merupakan bagian
dari sebuah rumah milik orang tua Diana yang terletak di Lorong Dua Perumahan
Jeulingke. Beberapa nama yang hadir masih lekat di ingatan. Himmah Tirmikoara
yang saat itu khusus datang dari Gayo demi pertemuan penting ini, Diana Roswita
selaku pemilik rumah dan inisiator pertemuan, dan Mutia Maida yang bertetangga
dengan Diana. Selanjutnya adalah Cut Ivo Erawati, Cut Intan Meutia, Nurfaida,
Rita Zahara, Muhammad Ihsan, dan saya sendiri serta beberapa orang lagi yang
namanya tidak bisa saya ingat dengan baik tapi wajah mereka tergambar dengan
jelas di benak. Sebagian besar yang hadir belum saling mengenal karena berasal
dari domisili, usia, dan pendidikan yang beragam. Tak mudah untuk mengingat
kembali karena awal itu sudah berlalu beberapa tahun silam dan hanya menyisakan
sedikit saja dari sepotong episode yang ingin saya kenang.
Diana
adalah sebuah nama awal terbentuknya komunitas penulis ini di Aceh. Komunitas
yang telah dinamai sebagai Forum Lingkar Pena sejak dideklarasikan di Jakarta. Atas
inisiatifnya kami berkumpul sebagai upaya menindaklanjuti pengumuman yang
tertera dalam Majalah Annida edisi tahun 1999 tentang penetapan kepengurusan
dan keanggotaan FLP Aceh oleh FLP Pusat. Terpilih sebagai koordinator, Himmah
Tirmikoara dan wakil koordinator berturut-turut Diana Roswita, Nora Folina, dan
Muhammad Ihsan, serta seorang lagi –saya lupa namanya- tidak hadir karena
sedang dalam pendidikan di luar Aceh. Setelah ta’aruf (saling mengenal), berlanjut
pada pembentukan pengurus harian, dan penyusunan agenda terdekat dan mendesak.
Ada dua alasan penting untuk memunculkan kembali
latar belakang pemilihan dan penetapan pengurus harian FLP Aceh. Pertama karena
kepengurusan yang terbentuk sedikit berbeda dari yang ditetapkan FLP Pusat.
Himmah Tirmikoara yang sedianya menjadi koordinator FLP Aceh meminta dirinya untuk
digantikan dengan alasan pekerjaan sebagai guru dan berdomisili di Gayo. Selanjutnya, Diana
Roswita menolak menjadi ketua dengan alasan belum berpengalaman berorganisasi.
Sementara Muhammad Ihsan mengajukan alasan mau mempersiapkan diri menjelang
Ujian Nasional karena pada saat itu masih berstatus Pelajar Madrasah Aliyah
kelas tiga.
Pada
dasarnya semua yang hadir, terutama yang tertera namanya sebagai koordinator,
punya peluang untuk menjadi ketua FLP Aceh meskipun dengan beragam alasan
penolakan. Akhirnya karena alasan penolakan yang tidak diterima forum, terpilih
sebagai ketua, sekretaris, dan bendahara pada Periode Perdana ini –secara
berurutan- Nora Folina, Diana Roswita, dan Mutia Maida. Namun formasi
kepengurusan ini tidak “disampaikan secara formal” ke FLP Pusat. Hal ini
terungkap saat diselenggarakan milad FLP di Yogjakarta. FLP Aceh –bersama FLP
Yogjakarta dan FLP Kalimantan Timur- mendapat award sebagai FLP berprestasi.
FLP Pusat masih beranggapan Himmah Tirmikoara sebagai koordinator FLP Aceh.
Padahal sejak awal Himmah bisa dikatakan kurang aktif dalam kepengurusan.
#
Bergerak
dan Terus Bergerak
Dalam
perjalanan kepengurusan periode ini, FLP Aceh mendapat tawaran gratis
menjadikan rumah orang tua Diana sebagai pusat aktivitas alias sekretariat. Suatu
berkah mengingat pada saat itu (mungkin hingga saat ini) kondisi kas FLP Aceh
masih belum memungkinkan untuk menyewa sebuah tempat untuk pusat aktivitas. Namun
rumah itu hanya sebatas sekretariat sedangkan kegiatan-kegiatan seperti rapat
mingguan, kajian kepenulisan, pelatihan-pelatihan untuk anggota baru, dan
lain-lainnya lebih banyak diadakan di masjid-masjid dan mushalla.
Setahun
kemudian, Pengurus FLP Aceh membuat keputusan pindah karena selain efektifitas
penggunaan sekretariat yang terbatas dan yang terpenting dari itu adalah Diana –setelah
berkeluarga- tidak lagi tinggal di rumah orang tuanya tersebut.
Sejak
saat itu sekretariat FLP Aceh terus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat
lain. Dengan anggaran yang terbatas hasil iuran dan infaq para anggota serta
simpatisan, FLP Aceh hanya mampu menyewa tempat-tempat yang “terbatas”. Bahkan pernah
berkolaborasi dengan lembaga-lembaga lain. Yang pernah dilakukan misalnya,
bekerjasama dengan Studio Nun (usaha sablon dan percetakan skala kecil) dengan menyewa
sebuah bangunan sederhana dua lantai yang terbuat dari kayu dengan luas sekitar
10x10 m2 , dimana lantai bawah untuk Studio Nun dan lantai atas untuk
sekretariat FLP Aceh. Lantai dua yang sebenarnya merupakan perluasan fungsi
dari loteng dengan bentuk serupa jajaran genjang dengan sisi yang berbeda-beda
tingginya. Sehingga pada sebagian sisinya, orang-orang dengan tinggi badan
normal harus menundukkan sedikit
kepalanya supaya tidak terbentur atap. Begitu juga saat bergerak atau melangkah
harus mengatur seefektif mungkin. Namun demikian, keterbatasan tempat tidak
mengurangi semangat pengurus dan segenap anggotanya untuk berkarya.
Layaknya
sebagai sebuah bengkel penulis, berbagai agenda kegiatan telah dirancang dengan
motivasi tinggi di ruangan yang diagonalnya tak simetris ini. Banyak
acara-acara Dialog dan Pelatihan tentang kepenulisan sukses digelar bahkan
untuk tingkat Propinsi Aceh melalui jalinan kerjasama dengan beberapa Sekolah
Menengah Atas serta lembaga atau organisasi yang bergerak dalam ruang lingkup serupa. Bahkan pengurus
dan anggota berhasil menerbitkan dua edisi Buletin Risalah FLP Aceh meski
dengan tampilan dan layout yang masih sangat sederhana (edisi ke-3 belum sempat
cetak karena keterbatasan anggaran).
#
Sekelumit
Catatan Pribadi
Bagi
saya, menjadi Ketua FLP Aceh periode kepengurusan perdana merupakan suatu
kebahagiaan yang tak terucapkan. Namun pada saat itu berlangsung, saya belum
bisa berkiprah dengan maksimal. Pada akhir 2000, selama hampir setahun
(setengah dari dua tahun masa kepengurusan) saya kerap memimpin rapat pengurus
dalam kondisi fisik kurang sehat tepatnya dalam kondisi tubuh meriang hebat karena
terkena Malaria. Bahkan kadang tidak bisa hadir dalam kegiatan yang
diselenggarakan FLP Aceh karena kondisi fisik sedang drop. Namun berkat
semangat seluruh pengurus dan anggota, terutama Diana yang menunjukkan semangat
yang luar biasa dalam bidang kepenulisan, kegiatan-kegiatan FLP Aceh tetap
berjalan sesuai harapan. Misalnya dengan terhimpunnya sejumlah tulisan anggota
yang kemudian menjadi sebuah buku berjudul di Ujung Negeri.
Epilog
Setelah
tinggal di luar Banda Aceh, bisa dikatakan saya vakum dari semua kegiatan yang
berkaitan dengan FLP Aceh. Tapi keinginan untuk menulis tidak akan pernah
sirna. Harapan untuk produktif menulis senantiasa membuncah. Entah kapan
harapan ini akan menjelma menjadi nyata. #mengulangmimpi *_*