Beranda

Kamis, 01 Desember 2011

A writer, am I?

Uff, kadang rindu juga ingin menulis. Apalagi hari ini setelah membuka blog multiply helvi. Kerinduan yang sulit untuk diungkapkan. Sering saya bertanya, dimanakah saya ini? Apakah saya penulis atau pernah menulis? Terlalu sibuk sering menjadi alasan ketika tiba-tiba timbul hasrat ingin menulis? Hah, siapakah saya ini? Apakah saya telah kalah oleh alasan sibuk? Benarkah saya benar-benar sibuk? Lalu apakah para penulis itu tidak lebih sibuk dari saya? Lalu apa yang sudah saya dapat dari kesibukan saya itu? Adakah sesuatu yang bisa dibanggakan dari hasil sibuk saya itu?
Entahlah, ingin menulis. Rasanya ingin saya tinggalkan semua kegiatan menulis. Mengambil sebuah tempat. Tanpa disibuki oleh hal-hal yang menyibukkan. Alasan sibuk rasanya terlalu berlebihan. Mungkin lebih tepatnya tidak focus. Kadang saya merasa lelah, apa yang saya kejar selama ini? Dimanakah saya bisa mendapatkan kebahagiaan? Saya rindu menulis seperti dulu. Menulis membuat saya bahagia. Darimanakah saya memulai kembali menulis? Saya memutuskan akan menulis apasaja yang bisa membuat saya bahagia. Sedih rasanya saat menyadari, selama ini saya benar-benar melupakan “bahwa saya sebenarnya adalah seorang penulis” saya selalu gelisah. Saya pikir inilah jawaban kegelisahan itu. Menulis. Tentang apasaja tanpa membatasi diri. Kasihan sekali saya. Menyia-nyiakan begitu banyak waktu selama ini. Menyiakan begitu banyak moment yang lewat begitu saja. Dimana saya sekarang? Siapa saya sekarang? Ternyata saya menemukan bahwa saya bukan siapa-siapa. Saya berada di suatu tempat yang tidak saya inginkan.
Hari ini saya cemburu pada helvi. Ternyata dia sudah sangat jauh melejit. Saya cemburu pada konsistensinya. Dia berjuang pada saat dunia penulisan masih sepi. Dia berjalan sendiri. Tapi tetap teguh. Sedangkan saya? Saya selalu gamang menemukan diri saya. Saya sering merasa tidak mengenal diri saya sendiri. Apa yang saya inginkan? Dimana saya ingin berada?



TAUSIYAH PAGI

Pagi-pagi aku sudah dihadapkan pada sebuah dilema.

Sudah enam hari ini –dari jatah tujuh hari- aku diminta bantu sama Bunda (tante) untuk menjadi volunteer di rumahnya, menemani anak semata wayangnya yang masih kelas 6 SD. Berhubung mereka berdua (bundaku dan suaminya) harus ada di sebuah negeri jiran untuk suatu keperluan.  Jadilah aku volunteer dengan peran sebagai kakak dan sekaligus orangtua.

Pagi ini, adik sepupuku itu mulai bertingkah. Aku rasa sebagai wujud dari reaksinya terhadap telepon ortunya kemarin dan semalam. Mereka belum bisa kembali karena terlambat lima menit sampai di bandara, pastinya ditinggal pesawat dan baru akan kembali dua hari ke depan. Jadilah ‘pengabdianku” bertambah tiga hari lagi.  Aku pusing karena reaksi adik sepupuku adalah meminta sejumlah uang tabungannya (syukur bukan uangku :D) untuk membeli game software pada teman sekolahnya, yang katanya sudah sangat mahir bermain game. Entah iya kebenaran info itu, yang pasti, uang harus ada karena pulang sekolah dia akan bermain game dengan temannya itu. Aku bergeming, menawarkan opsi, belinya ditunda setelah kepulangan ortunya. Tapi sepupuku itu tak setuju, uang itu harus dibawanya ke sekolah pagi ini. Kalau tidak, dia tidak mau makan dan tidak mau sekolah (uhhhh… please deh!)

Aku mulai khawatir, meskipun sepupuku sudah berpakaian lengkap dan rapi, tapi kalau ngambeknya beneran, gimana? Tepat dugaanku, dia menuju kamar dan tidur di kasur dengan menitikkan air mata. Wah, aku tambah bingung, meskipun sepupuku ini cowok tapi yang namanya anak-anak tetap bebas menitikkan air mata yah :D. Setelah beberapa saat adu argumen, akhirnya dia mau beranjak dari kamar menuju ke luar. Eh di garasi, sepupuku ini berulah lagi, masih melanjutkan topik tentang game, uang, dan temannya. Aku hampir kalah argumen. Kali ini, sepupuku berulah dengan mengambil tempat di pojok garasi, dan mulai unjuk rasa.

Ah… akhirnya keluarlah tausiyah dariku. Aku mencoba menyentuh hatinya (meskipun tidak segampang mempraktekkan materi tausiyah “Menyentuh Hati’ Abbas As-Sissi ^_^). Berusaha mengurai akal dan pikirannya yang jumud karena agak fanatik dengan kepintaran temannya dalam game. Belum manjur. Sampai aku tambah tausiyah tentang Kisah Fir’aun, Haman, dan Qarun. Belum juga ada reaksi. Aku tambah lagi materi tentang kondisi anak-anak di Somalia dan Ethiopia saat ini (hahaha.. jauh banget), tentang syukur, bersedekah, persekongkolan iblis dengan nafsu, bla…bla…..

Nyaris tiga puluh menit aku menyampaikan tausiyah sambil mengamati ekspresinya dan berharap Allah melembutkan hatinya. Berharap dia bangkit dan bersedia aku antar ke sekolah. Akhirnya setelah janjian untuk nemani dia ke sebuah IT Expo yang memang sedang digelar tidak jauh dari rumahnya, bangkit juga sepupuku itu dari pojok garasi dan mau sekolah. Ufffh… leganya .

Digital Immigrant vs Digital Native

Sebenarnya tema pagi ini adalah tentang IT dengan salah satu cabangnya, game. Pfuih… game telah membuatku harus beradu argumen dan menyampaikan tausiyah pagi kepada sepupuku yang masih kelas enam SD. Sebagai immigrant dalam bidang IT, tentu aku harus sangat bijak berargumen karena pada sisi lain, tak bisa dipungkiri, sepupuku dan teman-teman sebayanya adalah generasi IT native (Digital Native). Mereka terlahir dalam dunia IT. Dan aku harus mengakui bahwa pengetahuan dan aplikasi mereka terhadap IT jauh lebih up to date.  Mereka terus membentuk fenomena baru yang mengglobal (ehm…bloofers?) karena dunia telah menjadi datar (flat) dan saling terkoneksi. Bahkan mereka bisa disebut multitasking, yaitu mengerjakan beberapa hal dalam waktu bersamaan, misal sambil sms, mereka melakukan upload foto atau video, download musik, nonton di YouTube , ngetwit, dan chatting di Ymail atau facebook.

Itu sedikit fenomena yang aku rasakan pagi ini. Mengarungi hidup di dunia online dan offline sekaligus, dengan cara baru yang revolusioner dalam hal berfikir, bekerja, dan bersosialisasi. Kalau kata orangtua, generasi sekarang melihat kehidupan online sebagai offline dan offline sebagai online. ?!!