Beranda

Rabu, 21 Desember 2011

POLLAH

POLLAH

Namanya Saifullah. Mahasiswa Teknik Sipil Unsyiah. Ia biasa disapa keluarga dan teman-temannya dengan sebutan Pollah. Perawakannya tinggi kurus dan berkulit putih dengan rambut agak pirang.

 
Suatu malam dalam hidupnya, ia merasakan kegelisahan yang sangat. Ia baru saja terhenyak dari tidurnya ketika tiba-tiba tempat tidurnya tergoyang. Gempakah? Pikirnya. Namun ketika matanya terbelalak ia tidak merasakan seperti gempa atau tanda-tanda habis gempa. Barang-barang yang berserakan di atas meja belajarnya masih seperti saat dia tinggalkan beberapa waktu lalu. Tapi ia bukan habis bermimpi. Ia yakin. Benar-benar dirasakannya tempat ia berbaring tergoyang keras.
Dia terduduk membisu. Dalam kebisuannya itu ia merasakan ketakutan yang luar biasa. Lalu apa yang baru saja dialaminya? Mimpi bukan. Kenyataan? Lalu kenapa ia juga tak merasa seolah itu nyata?
Ia bangkit. Menuju kamar mandi untuk berwudhuk. Dalam shalat malamnya, ia menangis sesunggukan. Kedua lengan bagian depan bajunya basah kuyup.
“Tak biasanya aku menangis seperti itu. Aku benar-benar merasa takut. Takut mati,” tuturnya pada Ihsan, sahabatnya. Selang satu hari setelah peristiwa itu.
Dua hari kemudian, tepatnya Minggu pagi, menurut kakaknya (ia tinggal dengan kakak perempuannya) yang waktu itu belum tahu apa yang dia alami, Pollah betul-betul berubah. Ia yang biasanya malas dan sering direpetin kakaknya karena kamarnya tak pernah rapi, pagi itu tampak beda. Pagi itu kamarnya sangat rapi.
Tidak itu saja. Pagi itu ia juga kelihatan lebih banyak diam bahkan enggan menjawab kalau ditanyai kakaknya.
Ketika sarapan, ayam goreng dalam nasi bungkusnya disambar dan dibawa kabur seekor kucing. Ia tidak bereaksi seperti biasa kalau ada yang mengusik makannya. Ia tidak bersemangat mengejar sang kucing. Nasi gurih dalam bungkusan itu dibungkusnya kembali dan dimasukkannya ke dalam kerangjang sampah. Lalu ia beranjak dari tempat itu. Kebetulan pagi itu abangnya baru tiba dari Medan, mereka berdua –abang dan kakaknya- memandang heran tingkah Pollah namun tidak berkomentar apapun.
Sebelum menghabiskan sarapan, gempa dahsyat mengguncang rumahitu. Mereka langsung meninggalkan sisa makanan dan spontan berlari keluar ketika terdengar kegaduhan. Beberapa mahasiswa yang ngekos di rumah itu juga berebutan keluar.
Selang beberapa waktu, gempa berhenti. Mereka semua kembali ke dalam rumah sambil saling berkomentar tentang gempa yang kekuatannya belum pernah mereka rasakan sebelumnya.
Mereka semua masih berkumpul di ruang keluarga, termasuk anak kos ketika gempa susulan terjadi. Kali ini disusul teriakan panik warga bahwa air laut naik. Demi mendengar air laut naik, mereka tidak hendak keluar rumah seperti tadi tapi menuju ke lantai dua rumah tersebut.
Namun terdengar teriakan lagi dari arah luar. “Lari…. Air laut naik!” Akhirnya mereka tidak jadi naik. Semua kembali berebutan keluar. Berusaha lari menyelamatkan diri karena kegaduhan semakin memuncak di Perumahan Jeulingke tersebut.
Abang Pollah berusaha menyelamatkan kakaknya dan anak kos yang semuanya perempuan. Dia mendorong mereka ke atas sebuah rumah lantai dua karena sudah tidak memungkinkan lagi untuk melanjutkan lari. Beberapa orang dari mereka sampai ke atas dengan susah payah. Sementara Pollah terpisah dari mereka. Ia lari dengan Ihsan. Saat lari, mereka sempat berpegangan tangan.
“Tangan Pollah dingin seperti mayat. Aku sempat menanyakan kenapa tangannya sedingin itu,” kenang Ihsan. Namun Pollah tidak menjawab hingga keduanya terpisah oleh terjangan arus air laut.
Sampai hari ini tidak ada jawaban untuk pertanyaan itu. Karena Pollah tak pernah ditemukan meski Abang, kakak, dan seluaruh kerabat tak pernah putus asa mencarinya. Sampai beberapa hari setelah peristiwa, mereka tetap berharap menemukan Pollah meski hanya jasadnya. Mereka menghampiri semua tempat-tempat mayat dievakuasi tak takut membuka kain-kain penutup mayat yang berhasil dievakuasi, untuk mencarai sosok Pollah. Hingga waktu merelakan kepergiannya bersama ratusan ribu jasad yang tak pernah ditemukan keluarga dan orang-orang yang mencintai mereka.
(Jeulingke, Desember 2011)


1 komentar: