Beranda

Rabu, 21 Desember 2011

MERDUATI (Dalam Sebuah Ruang)

“Salam! Salam! Uleelheu! Lhoknga! Keutapang! Lampeuneureut!” teriakan-teriakan kernet Labi-labi (sebutan untuk angkutan kota) menjadikan wajah Merduati sebagai pusat kota agak berbeda dengan kelurahan-kelurahan lain di Kotamadya Banda Aceh. Di sini terdapat kompleks Pasar Aceh (Pertokoan & pasar tradisional) yang menghubungkan Merduati dengan kelurahan-kelurahan lain, seperti Kampoeng Baro, Peulanggahan, Keudah, Peuniti, Punge, dan Lampaseh. Di sini pula terletak stasiun/terminal kecil khusus untuk Labi-labi. Namun karena penataan kota belum bagus dan rapi, sebagian besar Labi-labi, ditambah dengan antrian becak dan juga bis Damri, memenuhi sepanjang ruas Jalan Tentara Pelajar yang terbentang lurus dari Simpang Keudah (atau disebut juga simpang penjara karena di sini pernah berdiri gedung Lembaga Pemasyarakatan Lapas sebelum roboh oleh gempa dan gelombang Tsunami) hingga Simpang Bank BNI.
Kendaraan-kendaraan penumpang tersebut seakan enggan memasuki area terminal dan lebih suka menanti penumpang di Jalan Tentara Pelajar ini. Belum lagi dengan adanya pasar sayur/pasar ikan di dekat terminal yang ikut menambah kebisingan. Hiruk pikuk dan kebisingan kendaraan umum di Jalan Tentara Pelajar agaknya belum mengusik kehidupan warga Merduati. Hal ini terasa dengan kepadatan lalulintas yang dimulai sejak pagi buta (sebelum subuh) dan baru terasa lengang menjelang tengah malam, sangat kontras dan menjadi ciri khas Merduati. Padahal jalan protokol ini adalah jalan utama di kelurahan ini. Mungkin karena warga yang berdiam di lokasi -yang seluruh bangunan perumahannya baru dibangun- tersebut masih sangat sedikit.
Dengan luas sekitar 27 Ha dan terdiri dari 5 lingkungan/RW, Merduati yang berpenduduk 2000 jiwa (data kelurahan tahun 2006 yaitu dua tahun pasca Tsunami. Bandingkan sebelum tsunami 6000jiwa). Saat ini jauh berbeda dengan kondisi sebelum terjadi Tsunami 2004. Sebagai kelurahan yang paling padat penduduknya dibanding kelurahan lain, dulunya aktivitas warga Merduati seakan tak pernah diam. Bahkan dulunya sejak sebelum subuh, kendaraan-kendaraan pengangkut sayur dan buah dari kabupaten Aceh Besar seperti Tungkop, Lambaro, Cot Keu’eng (Kuta Baro), Blang Bintang, Saree, bahkan dari kabupaten Pidie, sudah berdatangan ke terminal labi-labi tersebut. Satu hal yang menjadi ciri terminal-terminal Aceh yaitu, di mana ada terminal maka di tempat itu bisa dipastikan akan tumbuh pasar-pasar tradisional baru.
Pertokoan di sepanjang Jalan Tentara Pelajar -sering juga dinamakan Jalan Merduati- memang tidak semua bangunan rukonya roboh saat diterjang Tsunami. Kebanyakan hanya dindingnya saja yang jebol. Mungkin ini salah satu faktor kenapa kegiatan perdagangan di kawasan ini termasuk yang cepat bergeliat meskipun kerusakan pemukiman warga di belakang pertokoan masuk katagori sangat parah dengan jumlah korban paling banyak. Lebih dari sembilah puluh persen perumahan warga -bersambung dengan kawasan Uleelheu, Keudah, dan Kampung Jawa yang terletak di bibir pantai- nyaris hilang tak berbekas.
Saat melihat kondisi pasca Tsunami, sulit untuk memprediksi bahwa Merduati bisa bangkit seperti kondisi sekarang. Warga yang selamat dari  peristiwa tersebut saja bisa dihitung dengan jari. Ditambah dengan beberapa warga yang tidak berada di lokasi pada saat kejadian. Merekalah yang menjadi warga Merduati sekarang. Selebihnya adalah keluarga korban yang dulunya bermukim di luar Merduati atau luar Banda Aceh.
Kehidupan malam terasa lengang dan cahaya lampu tidak seterang dulu. Warga lebih suka berdiam di dalam rumah. Warung pojok di sepanjang Jalan Ramasetia menuju arah Lampaseh yang dulu memberi andil semaraknya kehidupan malam Merduati, kini masih sepi. Begitu juga dengan Jalan Taman Siswa yang ujungnya berawal di Jalan Tentara Pelajar, tepat di seberang terminal, juga masih sepi.
Seluruh kondisi yang meliputi wilayah Merduati sekarang, merupakan kenangan tersendiri bagi warga yang menetap di sana saat ini. Mereka telah menganggap Merduati sebagai kampung halaman mereka yang bagaimanapun kondisinya, adalah ”tanah tumpah darah” bagi mereka. Pendahulu mereka sudah puluhan tahun menetap di sana. Meskipun hampir seluruh (kalau tidak dikatakan semua) warga Merduati adalah pendatang dari kabupaten lain, namun Merduati mampu menyatukan warganya yang heterogen dalam sebuah perkampungan. Suku Aceh, Padang, Jawa, Arab, Cina, Kleng (India), hidup rukun di sana, turun temurun. Kondisi ini menjadikan mereka enggan meninggalkan Merduati meskipun kondisinya –mungkin- bagi sebagian orang luar terasa sumpek karena terlalu padat. Sebagian orang mungkin juga berpikir bahwa warga yang trauma karena kehilangan anggota keluarga, suasana yang berbeda 180 derajat, kenangan-kenangan, akan sangat mengganggu mereka bahkan menyisakan lara yang sulit hilang. Dan keputusan untuk memilih tetap bertahan di Merduati, tidak sulit untuk dipahami. Bahkan gempa yang masih sering mengguncang, menambah semakin sulit menghapus semua yang pernah ada dan pernah terjadi.
Hal ini tidak dipungkiri oleh Bu Ani (69 tahun) atau kerap dipanggil Nek Bu oleh anak-anak. Wanita yang tiga atau empat tahun lalu masih kelihatan enerjik dan ceria, hanya pasrah pada kondisi. Di rumah petak cat hijau, berukuran 3x6, wanita ini hidup bersama seorang anak perempuannya dan seorang cucu laki-laki berusia 6 tahun. Dua orang penghibur hatinya itu yang menjadi alasan terbesarnya untuk tetap tegar. Suami, dua orang anak & menantu, serta 3 cucunya, saudara, tetangga-tetangga tak akan pernah lagi menyapanya sejak disapu gelombang Tsunami. Di tempat itu dulu ia melahirkan dan membesarkan anak-anak hingga cucu-cucunya. Kini tidak lagi dirasakannya kesumpekan dan gempita kehidupan bertetangga. Tidak ada lagi rumah yang dulu biasa ia bertandang. Tidak ada lagi rumah yang biasa ia kirimi lontong dan bihun buatannya.
            Seorang anak laki-lakinya tinggal di Janthoe dan seorang lagi menjadi pegawai di kantor walikota (pasca Tsunami pernah menjabat sebagai lurah di Merduati). Ia yang kebetulan (dan ditakdirkan) berada di Janthoe (Ibukota Aceh Besar) pada saat Tsunami, memilih tetap bertahan di Merduati. Mendiami sebuah rumah yang dibangun di atas bekas rumahnya dulu yang rata, nyaris tak berbekas. Meskipun terkadang saat gempa kerap mengguncang, atau kala angin berderu kencang, dan nyalakan anjing membuat jantungnya berdegup keras dan membuat merinding bulu kuduk. Namun demikian, dalam kepasrahan sering juga dia bergumam, ”Rasanya kalau ada yang beli rumah ini, saya mau pindah saja ke daerah yang agak jauh.” namun hingga tahun ke tujuh pasca tsunami, Ia masih bertahan, karena tidak mudah meninggalkan Merduati dengan segala kondisinya.
Merduati yang dulu dipadati oleh bangunan-bangunan yang bahkan lorong-lorong sempitnya sulit dimasuki kendaraan roda dua, pasca Tsunami bagaikan sebuah kawasan yang jauh di pedalaman. Rumput setinggi lutut tumbuh liar bahkan ilalang setinggi orang dewasa sangat mudah dijumpai. Saat malam tiba, hanya pendar lampu neon watt kecil menyeruak dari sedikit rumah yang sudah dihuni. Kehidupan pagi pedagang yang bergegas menjemput rezeki, pekerja kantor yang tetap dengan rutinitas mereka sambil mengantar anak-anak mereka bersekolah, anak-anak SMP dan SMA yang melintas tanpa mempedulikan bising dan asap kendaraan. Entah kapan suasana itu kembali akan mewarnai Merduati.

Merduati,
meskipun warnamu sekarang lebih cerah
oleh rumah-rumah petak baru bercat orange, hijau, dan pink
meskipun pandanganku leluasa menerawang
hingga bukit-bukit di bibir pantai lhoknga dan uleelheu
meskipun kehidupanmu jauh dari kebisingan
karena tidak ada lagi raungan becak dan motor-motor butut
meskipun jalan aspalmu lebih hitam
tanpa bolong dan kerikil serta bau got
aku takkan bisa melupakan kenangan itu
karena aku akan senantiasa merindukanmu
Merduati yang dulu...........

(Merduati, Desember 2011)

1 komentar: