Beranda

Jumat, 08 Maret 2019

Sepotong Episode yang Hampir Terlupakan



            Saat harus mengembalikan awal yang merupakan prolog dari episode panjang ini, beban seakan menggelayut dan menyelimuti benak. Entah bagaimana menghadirkan kembali lembar demi lembar yang telah lusuh dan memudar bahkan sebagian lagi telah tercerabut dari bundelnya.
            Hari itu, pada suatu sore, sejumlah 10 atau 15 orang muda berkumpul di sebuah ruang tamu yang berukuran sekitar 5x6 m2. Ruangan yang merupakan bagian dari sebuah rumah milik orang tua Diana yang terletak di Lorong Dua Perumahan Jeulingke. Beberapa nama yang hadir masih lekat di ingatan. Himmah Tirmikoara yang saat itu khusus datang dari Gayo demi pertemuan penting ini, Diana Roswita selaku pemilik rumah dan inisiator pertemuan, dan Mutia Maida yang bertetangga dengan Diana. Selanjutnya adalah Cut Ivo Erawati, Cut Intan Meutia, Nurfaida, Rita Zahara, Muhammad Ihsan, dan saya sendiri serta beberapa orang lagi yang namanya tidak bisa saya ingat dengan baik tapi wajah mereka tergambar dengan jelas di benak. Sebagian besar yang hadir belum saling mengenal karena berasal dari domisili, usia, dan pendidikan yang beragam. Tak mudah untuk mengingat kembali karena awal itu sudah berlalu beberapa tahun silam dan hanya menyisakan sedikit saja dari sepotong episode yang ingin saya kenang.
            Diana adalah sebuah nama awal terbentuknya komunitas penulis ini di Aceh. Komunitas yang telah dinamai sebagai Forum Lingkar Pena sejak dideklarasikan di Jakarta. Atas inisiatifnya kami berkumpul sebagai upaya menindaklanjuti pengumuman yang tertera dalam Majalah Annida edisi tahun 1999 tentang penetapan kepengurusan dan keanggotaan FLP Aceh oleh FLP Pusat. Terpilih sebagai koordinator, Himmah Tirmikoara dan wakil koordinator berturut-turut Diana Roswita, Nora Folina, dan Muhammad Ihsan, serta seorang lagi –saya lupa namanya- tidak hadir karena sedang dalam pendidikan di luar Aceh. Setelah ta’aruf (saling mengenal), berlanjut pada pembentukan pengurus harian, dan penyusunan agenda terdekat dan mendesak.
            Ada  dua alasan penting untuk memunculkan kembali latar belakang pemilihan dan penetapan pengurus harian FLP Aceh. Pertama karena kepengurusan yang terbentuk sedikit berbeda dari yang ditetapkan FLP Pusat. Himmah Tirmikoara yang sedianya menjadi koordinator FLP Aceh meminta dirinya untuk digantikan dengan alasan pekerjaan sebagai guru dan  berdomisili di Gayo. Selanjutnya, Diana Roswita menolak menjadi ketua dengan alasan belum berpengalaman berorganisasi. Sementara Muhammad Ihsan mengajukan alasan mau mempersiapkan diri menjelang Ujian Nasional karena pada saat itu masih berstatus Pelajar Madrasah Aliyah kelas tiga.
            Pada dasarnya semua yang hadir, terutama yang tertera namanya sebagai koordinator, punya peluang untuk menjadi ketua FLP Aceh meskipun dengan beragam alasan penolakan. Akhirnya karena alasan penolakan yang tidak diterima forum, terpilih sebagai ketua, sekretaris, dan bendahara pada Periode Perdana ini –secara berurutan- Nora Folina, Diana Roswita, dan Mutia Maida. Namun formasi kepengurusan ini tidak “disampaikan secara formal” ke FLP Pusat. Hal ini terungkap saat diselenggarakan milad FLP di Yogjakarta. FLP Aceh –bersama FLP Yogjakarta dan FLP Kalimantan Timur- mendapat award sebagai FLP berprestasi. FLP Pusat masih beranggapan Himmah Tirmikoara sebagai koordinator FLP Aceh. Padahal sejak awal Himmah bisa dikatakan kurang aktif dalam kepengurusan.
#

Bergerak dan Terus Bergerak
            Dalam perjalanan kepengurusan periode ini, FLP Aceh mendapat tawaran gratis menjadikan rumah orang tua Diana sebagai pusat aktivitas alias sekretariat. Suatu berkah mengingat pada saat itu (mungkin hingga saat ini) kondisi kas FLP Aceh masih belum memungkinkan untuk menyewa sebuah tempat untuk pusat aktivitas. Namun rumah itu hanya sebatas sekretariat sedangkan kegiatan-kegiatan seperti rapat mingguan, kajian kepenulisan, pelatihan-pelatihan untuk anggota baru, dan lain-lainnya lebih banyak diadakan di masjid-masjid dan mushalla.
            Setahun kemudian, Pengurus FLP Aceh membuat keputusan pindah karena selain efektifitas penggunaan sekretariat yang terbatas dan yang terpenting dari itu adalah Diana –setelah berkeluarga- tidak lagi tinggal di rumah orang tuanya tersebut.
            Sejak saat itu sekretariat FLP Aceh terus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Dengan anggaran yang terbatas hasil iuran dan infaq para anggota serta simpatisan, FLP Aceh hanya mampu menyewa tempat-tempat yang “terbatas”. Bahkan pernah berkolaborasi dengan lembaga-lembaga lain. Yang pernah dilakukan misalnya, bekerjasama dengan Studio Nun (usaha sablon dan percetakan skala kecil) dengan menyewa sebuah bangunan sederhana dua lantai yang terbuat dari kayu dengan luas sekitar 10x10 m2 , dimana lantai bawah untuk Studio Nun dan lantai atas untuk sekretariat FLP Aceh. Lantai dua yang sebenarnya merupakan perluasan fungsi dari loteng dengan bentuk serupa jajaran genjang dengan sisi yang berbeda-beda tingginya. Sehingga pada sebagian sisinya, orang-orang dengan tinggi badan normal harus  menundukkan sedikit kepalanya supaya tidak terbentur atap. Begitu juga saat bergerak atau melangkah harus mengatur seefektif mungkin. Namun demikian, keterbatasan tempat tidak mengurangi semangat pengurus dan segenap anggotanya untuk berkarya.
            Layaknya sebagai sebuah bengkel penulis, berbagai agenda kegiatan telah dirancang dengan motivasi tinggi di ruangan yang diagonalnya tak simetris ini. Banyak acara-acara Dialog dan Pelatihan tentang kepenulisan sukses digelar bahkan untuk tingkat Propinsi Aceh melalui jalinan kerjasama dengan beberapa Sekolah Menengah Atas serta lembaga atau organisasi yang bergerak  dalam ruang lingkup serupa. Bahkan pengurus dan anggota berhasil menerbitkan dua edisi Buletin Risalah FLP Aceh meski dengan tampilan dan layout yang masih sangat sederhana (edisi ke-3 belum sempat cetak karena keterbatasan anggaran).
#
Sekelumit Catatan Pribadi
            Bagi saya, menjadi Ketua FLP Aceh periode kepengurusan perdana merupakan suatu kebahagiaan yang tak terucapkan. Namun pada saat itu berlangsung, saya belum bisa berkiprah dengan maksimal. Pada akhir 2000, selama hampir setahun (setengah dari dua tahun masa kepengurusan) saya kerap memimpin rapat pengurus dalam kondisi fisik kurang sehat tepatnya dalam kondisi tubuh meriang hebat karena terkena Malaria. Bahkan kadang tidak bisa hadir dalam kegiatan yang diselenggarakan FLP Aceh karena kondisi fisik sedang drop. Namun berkat semangat seluruh pengurus dan anggota, terutama Diana yang menunjukkan semangat yang luar biasa dalam bidang kepenulisan, kegiatan-kegiatan FLP Aceh tetap berjalan sesuai harapan. Misalnya dengan terhimpunnya sejumlah tulisan anggota yang kemudian menjadi sebuah buku berjudul di Ujung Negeri.

Epilog
            Setelah tinggal di luar Banda Aceh, bisa dikatakan saya vakum dari semua kegiatan yang berkaitan dengan FLP Aceh. Tapi keinginan untuk menulis tidak akan pernah sirna. Harapan untuk produktif menulis senantiasa membuncah. Entah kapan harapan ini akan menjelma menjadi nyata. #mengulangmimpi *_*

Jumat, 02 Maret 2012

KONYOL                                      

Teman, aku mau berbagi cerita tentang beberapa kekonyolan yang pernah aku lakukan akibat sikap cerobohku maupun karena niat ingin menolong teman. Aku yakin kita semua pernah melakukan hal-hal konyol dalam hidup. Bahkan kadang-kadang sangat lucu atau sangat memalukan, mungkin juga menyedihkan.


Rabu, 21 Desember 2011

SUATU KETIKA DALAM HIDUPKU

Jarum jam menunjuk ke angka 04.30 ketika suara alarm HPku dan Irad terdengar berbarengan. Malam ini Irad bermalam di Itqon, berhubung temanku Sri, sedang pulang ke Langsa. Meski rasa pegal merayapi seluruh sendi tubuhku karena aktifitas seharian ini yang cukup melelahkan dan tiba di Itqon ba’da maghrib, aku memaksakan diri untuk bangkit. 

POLLAH

POLLAH

Namanya Saifullah. Mahasiswa Teknik Sipil Unsyiah. Ia biasa disapa keluarga dan teman-temannya dengan sebutan Pollah. Perawakannya tinggi kurus dan berkulit putih dengan rambut agak pirang.

BERSAMA NANDA


Aku belum melupakan saat itu. Suatu siang, bersama beberapa orang teman, kami sedang duduk sambil berdiskusi banyak hal di Itqon (sebuah toko buku dan juga Sekretariat Forum Lingkar Pena Aceh). Kami masuk memberi salam dan bertanya, “Di sini sekretariat FLP ya?” Pertanyaan yang serupa kamu lontarkan memang bukan pertama kali terdengar. Bahkan hampir tiap hari ada saja –kebanyakan mahasiswa dan pelajar- yang datang menanyakan info tentang FLP. Dan kamu adalah satu diantaranya.